SEMARANG- Setiap menjelang Ramadan, tepatnya pada bulan Sya’ban, masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta, selalu melakukan tradisi Nyadran. Budaya yang telah dijaga selama ratusan tahun ini, dilakukan dengan bersih-bersih makam para orang tua atau leluhur, membuat dan membagikan makanan tradisional, serta berdoa atau selamatan bersama di sekitar area makam.
Baca juga:
Kunjungan Danramil Ke Tokoh Agama Nasrani
|
Dalam kalender Jawa, Bulan Ramadan disebut dengan Bulan Ruwah, sehingga Nyadran juga dikenal sebagai acara Ruwah. Dirangkum dari berbagai sumber, tradisi ini adalah hasil akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Kata Nyadran berasal dari kata 'Sraddha' yang bermakna keyakinan.
Hal tersebut disampaikan oleh Babinsa Keseneng Koramil 10/Sumowono Sertu Nova saat menghadiri acara Sadranan di Makam Gumuk kembang Dusun Keseneng Dess Keseneng Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang, Jumat(10/03)
"Nyadran menjadi bagian penting bagi masyarakat Jawa. Sebab, para pewaris tradisi ini menjadikan Nyadran sebagai momentum untuk menghormati para leluhur dan ungkapan syukur kepada Sang Pencipta. Biasanya, Nyadran diadakan satu bulan sebelum dimulainya puasa, atau pada 15, 20, dan 23 Ruwah"pungkasnya.
Ditambahkan Sertu Nova Masyarakat yang melakukan tradisi Nyadran percaya, membersihkan makam adalah simbol dari pembersihan diri menjelang Bulan Suci. Bukan hanya hubungan manusia dengan Sang Pencipta, Nyadran dilakukan sebagai bentuk bakti kepada para pendahulu dan leluhur. Kerukunan serta hangatnya persaudaraan sangat terasa setiap kali tradisi Nyadran berlangsung.
"Nyadran yang telah dijaga selama ratusan tahun, mengajarkan untuk mengenang dan mengenal para leluhur, silsilah keluarga, serta memetik ajaran baik dari para pendahulu. Seperti pepatah Jawa kuno yang mengatakan "Mikul dhuwur mendem jero" yang kurang lebih memiliki makna “ajaran-ajaran yang baik kita junjung tinggi, yang dianggap kurang baik kita tanam-dalam".pesan nya yg saat hadir di dampingi oleh Babinkamtibmas Polsek Sumowono.
Editor:Yudha27